"Biasanya langsung disemprot pake Baygon aja"
Liputan6.com, Jakarta Kepulan asap putih dari nasi pulen yang masih
panas tentu membuat perut yang keroncongan semakin berontak. Apalagi
ditambah sambal terasi, lalapan, dan ikan asin. Niscaya, porsi satu
piring cepat tandas. Tapi di balik kenikmatan ini nyawa dipertaruhkan.
Jangan terkecoh dengan penampilan ikan segar dan baru turun dari kapal
yang baru pulang melaut. Kuat dugaan, ikan-ikan mulai tersentuh
formalin sejak dari dalam kapal. Di dalam palka penampungan ikan,
nelayan mencampuri ikan hasil tangkapan dengan cairan bernama lain
formaldehid itu untuk menekan penggunaan es batu agar lebih murah.
Penelitian di laboratorium menunjukkan hasil positif untuk hampir
seluruh produk ikan asin dari Teluk Jakarta. Dalam ikan asin kecil
seperti jambal dan cumi-cumi, untuk 10 gramnya terdapat lebih dari 1,5
ppm (part per million atau satu per sejuta) formalin.
Menurut Kepala Bagian Unit Pelaksana Teknis Balai Pengujian Mutu Hasil
Perikanan Jakarta Devi Lydia, ikan yang mengandung cairan pengawet
mayat bisa langsung diketahui. "Keras sekali. Karena di luar kering
tapi di dalam tetap basah," kata Lydia, baru-baru ini.
Formalin diduga digunakan oleh nelayan Indonesia sejak dua tahun silam.
Cairan yang mengandung metanol ini memang biasa dipakai nelayan untuk
menjaga bobot ikan asin. Pembuatan tanpa formalin akan mengurangi bobot
ikan asin hingga 60 persen. Sedangkan dengan menggunakan larutan bening
itu, bobot yang berkurang akibat pengeringan hanya sekitar 30 persen.
Pembuat ikan asin di Muara Angke, Jakarta Utara, juga mengaku produksi
menjadi lebih efisien jika menggunakan formalin. Bila hanya menggunakan
garam saja, pengeringan bisa dilakukan selama sepekan. Jika menggunakan
cairan pembasmi bakteri tersebut, dalam satu atau dua hari saja ikan
asin siap dijual.
Penggunaan formalin pada ikan memang tak segencar sebelumnya. Ini
menyusul edaran Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
722/Menkes/Per/IX/88 tentang bahan tambahan yang dilarang digunakan
dalam pangan.
Padahal berdasarkan penelitian Badan Pengawas Obat dan Makanan
Indonesia tahun silam, penggunaan formalin pada ikan dan hasil laut
menempati peringkat teratas. Yakni, 66 persen dari total 786 sampel.
Sementara mi basah menempati posisi kedua dengan 57 persen. Tahu dan
bakso berada di urutan berikutnya yakni 16 persen dan 15 persen.
Tapi tetap saja masih banyak nelayan yang bengal. Menurut Kepala Balai
Pengujian Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan dan Kelautan Jakarta
Redjani Kartoatmodjo, pihaknya memang masih menemukan penggunaan
formalin pada pembuatan ikan asin. Pernyataan Redjani diamini Kepala
Dinas Perikanan dan Kelautan Jakarta Riyadi. "Sebagian teman-teman
nelayan masih menggunakan bahan kimia," kata Redjani.
Di antara nelayan yang mulai meninggalkan penggunaan formalin adalah
yang berada di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Tapi akibatnya
selain keuntungan berkurang, ikan asin buatan mereka diganggu bakteri,
serangga dan belatung. Terutama saat musim hujan. Ujung-ujungnya,
mereka menggunakan insektisida yang disemprotkan langsung ke ikan asin.
"Biasanya langsung disemprot pake Baygon aja," kata seorang nelayan
yang enggan disebut namanya.
Penggunaan insektisida dan formalin pada hasil laut diakui Kepala Dinas
Perikanan Jawa Barat Darsono. Penggunaan formalin menurut Darsono,
karena harga bahan pengawet ini relatif murah. "Penggunaan formalin
masih banyak ditemukan di antaranya di Bandung kota dan sekitarnya,"
tutur Darsono.
Sebenarnya sudah ada produk pengawet ikan yang sudah direstui
penggunaannya. Yaitu minatrid. Namun karena alasan masih baru dan
kesulitan untuk mencari bahan pengawet ini, formalin masih merajalela.
Padahal asupan formalin dalam tubuh yang berlangsung menahun dapat
mengakibatkan gangguan pada sistem pernapasan, gangguan pada ginjal dan
hati, sistem reproduksi dan kanker. Gangguan yang ringan adalah rasa
terbakar pada tenggorokan dan sakit kepala.
Selain ikan asin, kerang juga tak luput dari penggunaan zat kimia
berbahaya bagi tubuh. Pengolah kerang menggunakan bahan pewarna
Rhodamine B yang seharusnya untuk pakaian atau biasa disebut wantek.
Tujuannya untuk membuat kerang yang telah dikupas agar tak terlihat
pucat. Zat kimia ini akan menumpuk pada tubuh dan pada gilirannya juga
meracuni organ dalam, terutama ginjal dan hati.
Kerang dipanen nelayan saat berumur enam bulan. Di Jakarta, kerang
biasa dipelihara di Teluk Jakarta. Binatang bernama ilmiah Anadara
granosa ini biasanya langsung direbus dengan air laut usai dipanen.
Setelah matang, kerang diturunkan dari tong perebusan untuk kemudian
dikupas dari kulitnya.
Puluhan pekerja kemudian melepaskan daging dari kulit kerang untuk
diolah lebih lanjut. Hingga tahap ini tak ada masalah dengan
pengolahan. Semua berjalan baik dan tak ada peran bahan kimia beracun.
Kerang yang sudah dicabuti ini belum dibersihkan dari kotoran yang
menempel. Pembersihan akan dilakukan setelah satu tong penuh kerang
atau sekitar seratus kilogram.
Zat kimia mulai campur tangan ketika datang es batu untuk pengawetan.
Setelah es siap, petani kerang kemudian membuat larutan "ajaib". Satu
tong kecil air ditaburi wantek berwarna oranye. Sekitar 15 menit
kemudian kerang terlihat lebih segar. Kerang yang telah didandani ini
kemudian dimasukkan tong untuk dijual. Tapi sebelumnya, kerang ditaburi
tawas yang biasanya digunakan untuk menjernihkan air. Alasannya, agar
menjadi lebih kenyal dan bisa disimpan selama satu hari satu malam
sebelum dikirim ke pelelangan ikan.
Kembali ke Pelabuhan Ratu, di daerah ini nelayan setempat juga memakai
zat pewarna dari golongan Rhodamin B. Mereka biasanya memakai pewarna
tekstil berwarna merah untuk membuat terasi. Berbahayanya zat kimia ini
pada tubuh bisa terlihat dari alat pembuat terasi yang berwarna merah
kendati setelah dibasuh air. Baik dalam pewarnaan kerang maupun terasi,
semua pembuatnya mengaku menggunakan bahan kimia pewarna kue. Sungguh
tidak logis. Karena pewarna kue harganya rata-rata Rp 10 ribu untuk 10
cc. Sementara wantek dibanderol Rp 5-10 ribu per kilogram. Sedangkan
untuk mewarnai kerang atau terasi per 100 kg, diperlukan satu hingga
dua kilogram pewarna.
Alasan ekonomi memang menjadi pangkal dari penyalahgunaan zat kimia
berbahaya bagi tubuh dalam penganan. Padahal pangan yang aman, bermutu
dan bergizi adalah hak setiap orang. Tapi sepertinya penganan ideal ini
hanya sebatas impian. Apalagi untuk makanan yang nikmat tapi
murah.(YAN/Tim Sigi)